Pesta demokrasi. Begitu orang menjuluki Pemilu,
yang kembali bakal digelar tahun ini. Meski mulai banyak yang tak lagi
antusias, hajatan lima tahunan di negeri ini masih diminati oleh sebagian
masyarakat. Pesta yang di-organized oleh KPU sebagai wakil Pemerintah,
sebagaimana biasa, diikuti oleh sejumlah partai, dengan ratusan ribu caleg yang
ingin berebut duduk di kursi DPR/DPRD.
Layaknya pesta, Pemilu haruslah meriah. Agar
meriah, anggaran pun harus wah. Karena itu uang puluhan triliun pun
digelontorkan, bukan hanya oleh Pemerintah, tetapi juga oleh pribadi para caleg
atau para cukong. Untuk sekadar jadi caleg—belum pasti jadi aleg—setiap orang
bisa merogoh sakunya hingga miliaran rupiah; tentu tidak harus dari kantongnya,
bisa dari para cukong yang mendukung dirinya. Dukungan para cukong tidaklah
gratis. Ia hanyalah semacam ‘utang’ yang harus dibayarkan kembali oleh para
caleg—setelah mereka berhasil duduk jadi wakil rakyat—dalam bentuk ragam
kompensasi seperti proyek, UU yang berpihak kepada mereka, dll.
Pemilu tentu tak sekadar pesta, tetapi juga
permainan. Siapa yang bermain? Tentu partai peserta Pemilu dan para caleg.
Bagaimana dengan rakyat? Mereka memang yang paling banyak dilibatkan, tetapi
sekadar ‘meramaikan’ pesta, bukan sebagai penikmat pesta. Yang benar-benar
menikmati pesta hanyalah parpol dan para caleg. Hingar-bingar kampanye hanyalah
milik partai dan para caleg. Rakyat hanya penggembira. Memang, selama pesta
rakyat disanjung dan dipuja. Suaranya pun sangat diharap-harapkan, bila perlu
dihargakan dengan uang. Namun, usai pencoblosan, rakyat segera dilupakan.
Parpol dan para wakil rakyat kembali menjauhi rakyat, bahkan seolah-olah tak
pernah kenal dengan rakyat yang pernah memilih mereka.
Saya jadi teringat ceramah seorang kiai di
kampung saya setahun lalu. Ia mengambil monyet sebagai analogi. Saat lapar,
monyet akan turun dari pohon ke bawah mencari makanan atau sekadar sepotong
pisang. Setelah makanan atau pisang didapat, dia akan naik lagi dan duduk-duduk
santai di pohon sambil memakan makanannya hingga kenyang. Selama kenyang, dia
akan tetap di atas pohon, dan baru turun lagi ke bawah saat lapar datang
kembali.
Demikianlah para pejabat dan wakil rakyat. Mereka
akan ‘turba’ menyapa rakyat saat membutuhkan dukungan rakyat, sekali dalam lima
tahun. Jika telah mendapatkan jabatan dan duduk di atas, serta kenyang
menikmati segala fasilitas dan kemewahan, mereka segera melupakan rakyat yang
ada di bawah. Mereka baru akan kembali ‘turba’ lima tahun berikutnya, tentu
saat kembali membutuhkan dukungan rakyat.
*****
Namun, bangsa Indonesia memang bangsa yang
pemaaf. Meski berkali-kali ditipu, dicurangi dan dikhianati, mereka dengan
mudah memaafkan partai, para pejabat atau wakil rakyat yang pernah mereka pilih.
Rakyat kembali antusias untuk datang kembali ke pesta-pora demokrasi; memilih
kembali partai yang pernah menipu, melupakan atau bahkan mengkhianati mereka.
Lagi-lagi rakyat dengan antusias dan bergembira ikut merayakan hajatan lima
tahunan itu. Usai pesta, lagi-lagi mereka ditipu, dicurangi dan dikhianati.
Hak-hak rakyat mereka abaikan. Tuntutan rakyat tak mereka pedulikan. Kekayaan
rakyat mereka jadikan bancakan. Sumberdaya alam milik rakyat pun mereka
gadaikan. Yang menakjubkan, semua itu tak lantas menjadikan rakyat berontak.
Tak mau kalah dengan keluguan rakyat, dengan
percaya diri para pejabat dan wakil rakyat itu kembali meminta dukungan rakyat
saat pesta demokrasi datang lagi. Mungkin karena mereka pun merasakan, betapa
pemaafnya bangsa ini. Karena itu, kembali mereka menyapa rakyat yang pernah
mereka tinggalkan; kembali mereka meminta dukungan rakyat yang pernah mereka
khianati, tanpa merasa risih dan berat hati.
Dipampanglah foto-foto mereka yang tampak
sumringah, di ratusan bahkan ribuan spanduk dan baliho, lengkap dengan kopiah
atau kerudung sebagai simbol keshalihan. Tak lupa, senyum merekah, ramah dan
tampak merakyat melengkapi manisnya tampilan spanduk dan baliho yang dipasang
hingga ke sudut-sudut kampung terpencil, yang justru sebelumnya tak pernah
terjamah oleh mereka. Serasa masih kurang lengkap, ditambahkan pula
slogan-slogan yang sungguh-sungguh membuat rakyat sepantasnya bangga. Betapa
tidak. Rakyat tak harus bersusah-payah mengenal atau meneliti para calon
wakilnya. Semua caleg dengan penuh kesadaran tinggi mengenalkan dirinya kepada
rakyat lengkap dengan semua keunggulan dan kelebihannya lewat sejumlah jargon:
“Jujur dan Ikhlas”, “Bersih dan Peduli”, “Pilihan Rakyat”, “Mengabdi Sepenuh
Hati”, “Berjuang untuk Kepentingan Rakyat”, dll. Begitulah pengakuan lugu
mereka.
Partai-partai peserta Pemilu tentu tak
ketinggalan. Masing-masing—juga dengan kepercayaan diri penuh—sesumbar di
media cetak maupun elektronik, di ribuan spanduk atau baliho. Ada partai yang
dengan gagah menegaskan, “Katakan Tidak Pada Korupsi!” Faktanya,
setelah duduk manis di kursi kekuasaan, tindakan mereka seolah berbicara,
“Katakan Tidak Masalah dengan Korupsi.” Ada partai yang sesumbar
sebagai “Partai Perubahan”. Benar saja, baru juga didirikan, partai ini telah
dilanda perubahan ke arah perpecahan. Ada juga partai yang sesumbar bahwa
suaranya adalah “Suara Rakyat”. Faktanya, suara rakyat mereka bajak untuk
kepentingan partai dan kelompoknya. Ada juga partai yang dengan penuh kearifan
melontarkan jargon, “Cinta, Kerja, Harmoni”, menggantikan jargon mereka pada
Pemilu lima tahun sebelumnya, “Bersih dan Peduli”. Saya tidak tahu, apa motif
di balik perubahan jargon tersebut. Boleh jadi karena partai tersebut merasa
telah sukses membuktikan dirinya bersih dan peduli sehingga membutuhkan jargon
lain untuk mencapai target yang berbeda. Faktanya, meski petingginya tersandung
korupsi, dan tak begitu peduli saat rakyat sering dizalimi oleh ragam UU dan
kebijakan anti-rakyat, partai ini tetap percaya diri untuk meraih posisi tiga
besar pilihan rakyat.
Barangkali, hanya rakyat yang benar-benar ikhlas
dan lugu yang bakal memilih kembali partai-partai semacam ini. Pastinya,
keikhlasan dan keluguan mereka gagal mendeteksi atau sekadar mencium aroma
kebusukan dan kebobrokan demokrasi.
Itulah secuil musibah akibat demokrasi yang telah
lama melanda negeri ini. Musibah akibat demokrasi yang sebenarnya, sesungguhnya
jauh lebih berbahaya bagi bangsa ini dibandingkan dengan bencana akibat letusan
Gunung Kelud sekalipun! Semoga bangsa ini segera menyadari. [El Wa'i, Arief B.
Iskandar]